OPINI
Oleh : Rahmad, ST
Rasa yang bercampur aduk di dalam dada, yang tak dapat digambarkan dengan kata kata, ada rasa marah, sedih bahkan kecewa ketika menyaksikan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam menyelesaikan konflik agraria di rempang, kepulauan Riau. Semua pihak sangat menyesali kenapa tindakan ini harus terjadi kepada masyarakat kecil.
Konflik tersebut terjadi antara penduduk asli dengan pihak pengelolaan proyek rempang Eco City, dalam hal ini sikap tim gabungan dalam menyikapi kondisi yang terjadi di lapangan terlalu berlebihan, represif dan sangat tidak humanis.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut telah merusak asas penyelesaian konflik berkeadilan. Tindakan ini tidak hanya merugikan masyarakat yang berjuang atas hak-hak mereka, tetapi juga telah merusak citra penyelesaian konflik yang transparan dan berkeadilan.
Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) seharusnya dalam pembangunannya dapat mengutamakan kepentingan rakyat secara luas, karena setiap PSN harus mengacu kepada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Yang artinya, segala sesuatu yang dibangun harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Semua pihak saat ini mempertanyakan bagaimana status hukum SK Hak pengelolaan (HPL) kawasan rempang yang dikeluarkan oleh kementrian agraria dan tata ruang kepada badan pengusahaan (BP) Batam, yang digunakan sebagai legitimasi dijadikannya kawasan tersebut sebagai kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG).
Berkaca dari kasus ini, Pemerintah nampaknya telah menghidupkan kembali konsep domein verklaring yang memandang tanah milik negara. Kosekuensinya adalah Pemerintah ataupun entitas yang berada dibawah otoritasnya, seperti (BP) Batam bisa mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyrakat. Perinsip ini sebenarnya telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960.
Artinya bahwa pemerintah telah menentang Undang Undang untuk mensejahterakan pihak pengembang dan menggusur rakyatnya.
Penggusuran warga demi investasi sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan.
Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal mereka, tanah yang menjadi sumber mata pencaharian mereka, dan kehidupan yang mereka bangun selama bertahun-tahun bahkan budaya mereka pun sirna.
Penggusuran semacam ini sering kali dilakukan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kita tidak boleh mengorbankan kemanusiaan dan keadilan dalam proses tersebut. Warga rempang memiliki hak untuk hidup dengan aman, memiliki tempat tinggal yang layak, serta dapat mempertahankan sumber mata pencaharian mereka.
Ketika penggusuran dilakukan tanpa memperhatikan rasa kemanusiaan dan keadilan, ini menunjukkan kurangnya rasa tanggung jawab dari pemerintah dan pihak terkait dalam melindungi hak-hak warga negara.
Dalam kasus rempang ini, kita bisa merujuk kepada aturan ICPPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yaitu perjanjian internasional yang membahas tentang hak-hak sipil dan politik individu. Walaupun dalam hal penggusuran warga negara, ICPPR tidak secara spesifik menyebutkan penggusuran atau perlindungan terhadap warga negara korban penggusuran.
Namun demikian, beberapa pasal dalam ICPPR bisa diasosiasikan dengan perlindungan hak-hak warga negara dalam konteks penggusuran, antara lain: Pasal 6: Hak untuk mengakui dan memperoleh perlindungan hukum yang setara.
Pasal ini dapat memberikan perlindungan bagi warga negara yang mengalami penggusuran yang melanggar hak mereka. Dan Pasal 7: Larangan atas perlakuan yang tidak manusiawi, merendahkan martabat, dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau yang menghina.
Warga negara yang menjadi korban penggusuran dapat merujuk pada pasal ini jika mereka mengalami perlakuan yang merendahkan martabat atau tidak manusiawi dalam proses penggusuran.
Persoalan rempang harus segera diakhiri dengan cara-cara yang berkeadilan dan tanpa intimidasi serta mencegah hal serupa berulang dan bahkan mungkin terjadi di tempat lain di negeri ini. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi warga negara dari upaya represif penggusuran karena investasi:
Pertama; Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait investasi, pengembangan dan penggusuran. Ini dapat dilakukan melalui konsultasi publik, pembentukan kelompok kerja, atau pendekatan social budaya dan upaya partisipatif lainnya. Pendekatan semacam ini memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam penentuan kebijakan dan memastikan kepentingan mereka diwakili.
Kedua; Dalam rangka melindungi warga negara, pemerintah harus menerapkan kebijakan yang memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam investasi. Ini dapat mencakup persyaratan bagi investor untuk menjalani proses evaluasi dampak sosial, budaya dan lingkungan sebelum kegiatan proyek pengembangan dimulai, serta pemantauan yang ketat terhadap pelaksanaan proyek pengembangan tersebut.
Ketiga; Warga negara harus dilindungi dari kehilangan tanah mereka secara sewenang-wenang dan kompensasi yang tidak adil. Pemerintah harus mengakui hak-hak tanah tradisional dan mengadakan pencatatan tanah yang jelas.
Pada akhirnya kita berharap agar pemerintah dapat menyelesaikan konflik antara investor pengembang dan masyarakat dapat diselesaikan dengan bijak dan berkeadilan tanpa menghilangkan kehidupan dan budaya masyarakat yang telah terbangun berabad abad lamanya.
Sikap bijaksana pemerintah dan tingkat kepatuhan pemerintah terhadap aturan hukum akan menentukan seperti apa kasus rempang ini akan selesai.***