JAMBI (Sekatanews.com) - Pemilihan pengurus mahasiswa tutor di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Jambi telah menjadi sorotan kritis. Bukan karena keberhasilannya dalam menciptakan pemimpin mahasiswa yang kompeten, melainkan karena carut-marut proses pemilihan yang jauh dari prinsip demokrasi dan keterbukaan. Dalam sebuah institusi yang seharusnya menjadi benteng moral dan akademis, tindakan tidak transparan ini justru menimbulkan keraguan serius terhadap integritas para pemangku kepentingan.
Proses pemilihan yang dilakukan di balik tirai ketertutupan membuat mahasiswa merasa terpinggirkan dari mekanisme yang seharusnya melibatkan mereka secara penuh. Informasi mengenai pemilihan disampaikan dengan setengah hati, tanpa kejelasan mengenai syarat pencalonan maupun kriteria seleksi. Bahkan, banyak mahasiswa yang merasa tidak tahu-menahu tentang kapan dan bagaimana proses itu berlangsung, seolah-olah ada upaya sengaja untuk meminimalkan partisipasi publik dalam memilih representasi mereka.
Kecurigaan bahwa hasil pemilihan sudah ditentukan sebelumnya bukan lagi sekadar rumor. Banyak mahasiswa menduga bahwa kandidat tertentu telah diatur dari awal oleh sekelompok pihak yang lebih berkuasa. Proses pemilihan yang seharusnya berlangsung secara demokratis malah berubah menjadi sekadar formalitas yang hanya memberi angin segar kepada segelintir elite kampus. Ini bukan hanya merusak semangat kolektif, tetapi juga menebar pesimisme di kalangan mahasiswa yang sebenarnya berharap pada perubahan dan transparansi.
Kebijakan yang diambil dalam pemilihan ini secara jelas menunjukkan ketidakmampuan para pemimpin kampus dalam menegakkan nilai-nilai keadilan dan keterbukaan. Alih-alih menjadi contoh bagi mahasiswa, mereka malah terjebak dalam praktik-praktik lama yang kotor dan penuh intrik. Hal ini sangat ironis, mengingat PAI sebagai jurusan agama seharusnya menjadi panutan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika yang bersumber dari ajaran agama. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya: pemilihan pengurus dilakukan dengan cara yang jauh dari akhlak yang baik.
Mahasiswa tidak hanya merasa kecewa, tetapi juga direndahkan. Ketika suara dan aspirasi mereka diabaikan, pemimpin yang terpilih bukanlah cerminan dari kehendak mayoritas, melainkan hasil rekayasa kelompok kecil yang mendominasi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat demokrasi yang seharusnya tumbuh di lingkungan kampus. Jika proses seperti ini dibiarkan terus terjadi, bukan tidak mungkin kepercayaan mahasiswa terhadap lembaga pendidikan mereka akan semakin tergerus.
Kegagalan dalam proses pemilihan ini bukan hanya soal teknis, tetapi mencerminkan masalah yang lebih dalam: adanya budaya politik kampus yang cenderung otoriter dan eksklusif. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena kampus seharusnya menjadi tempat di mana ide-ide kebebasan, keterbukaan, dan partisipasi demokratis diajarkan dan dipraktikkan. Ketika hal-hal ini dilanggar, maka misi utama pendidikan, yakni membentuk karakter dan kepemimpinan yang berintegritas, akan gagal total.
Pada akhirnya, ketidaktransparanan dalam pemilihan pengurus mahasiswa tutor PAI di Universitas Jambi ini bukan hanya sekadar isu administratif, tetapi merupakan cerminan dari lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas. Jika tidak segera diatasi, ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan organisasi mahasiswa dan kehidupan kampus secara keseluruhan. Universitas harus bertindak tegas untuk memperbaiki sistem ini, sebelum kampus kehilangan satu hal paling mendasar: kepercayaan mahasiswa.(*)