Yayasan Gambut dan BPDP Gerakan Petani Desa Temiang Menanam Kopi di Kebun Sawit

Yayasan Gambut dan BPDP Gerakan Petani Desa Temiang Menanam Kopi di Kebun Sawit
Peserta, panitia, dan narasumber foto bersama

Bengkalis, Sekatanews.com - Selasa pagi (28/10/2025), suasana Aula Kantor Desa Temiang terasa berbeda dari biasanya. Puluhan petani dari berbagai dusun berkumpul, bukan untuk rapat desa, tapi untuk belajar hal baru, menanam kopi di kebun sawit.

Kegiatan ini digelar oleh Yayasan Gambut bekerja sama dengan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) melalui Workshop Agroforestry Budidaya Tumpang Sari Kopi di Kebun Sawit. Tujuannya sederhana tapi bermakna besar. Yakni memberikan harapan baru bagi petani agar lebih mandiri secara ekonomi melalui pola tanam tumpang sari.

Empat narasumber hadir, masing-masing membawa pengalaman dan sudut pandang berbeda.

Pembicara pertama, Dr. M Amrul Khoiri, SP., M.P., C.APO, berbagi pengetahuan tentang budidaya kopi liberika, jenis kopi yang paling cocok tumbuh di lahan gambut. Dengan gaya bicara yang sederhana, ia menjelaskan proses dari pembibitan hingga panen.

“Yang penting itu benihnya harus bersertifikat dan sehat. Kalau dirawat dengan baik, tiga tahun sudah bisa berbuah,” ujarnya.

Peserta yang hadir tampak antusias. Beberapa bahkan langsung berdiskusi tentang lahan mereka dan cara menyiapkannya untuk ditanami kopi.

Waspadai Penyakit

Materi berikutnya disampaikan oleh Puan Habibah, SP., MP. Fosen Fakultas Pertanian Universitas Riau ini menjelaskan bahwa penyakit jamur dan bakteri merupakan tantangan utama dalam menanam kopi.

Puan Habibah saat berinteraksi dengan peserta workshop 

“Kalau muncul bercak kuning di daun, itu tanda serangan jamur. Jangan dibiarkan. Pangkas, bakar, dan bersihkan alatnya,” tegasnya.

Menurut Puan, pengendalian hayati dan sanitasi kebun sangat penting agar produktivitas kopi tetap stabil. “Kalau disiplin, hasilnya bisa luar biasa,” tambahnya.

Usai istirahat Zuhur, disesi kedua workshop, giliran Joni Irawan, SP., M.Si tampil menjelaskan bagaimana menanam kopi tanpa mengganggu sawit. “Cukup satu pohon kopi di setiap gawangan sawit. Itu sudah ideal,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan pupuk organik dan kimia. “Kalau dirawat baik, kopi bisa mulai berbuah di usia dua setengah tahun,” katanya dengan senyum optimis.

Menutup sesi kedua, Hisam Setiawan, pendiri Yayasan Gambut, berbicara tentang pentingnya tata niaga berbasis masyarakat. “Selama ini petani sering dikendalikan tengkulak. Padahal, kalau hasilnya dikelola secara berkelompok , mereka bisa menentukan harga sendiri,” ujarnya.

Menurut Hisam, kelompok wadah belajar dan berdaya. “ingat, Kopi ini bukan cuma tanaman tambahan, tapi simbol perubahan, dari ketergantungan menuju kemandirian,” katanya mantap.

Sore pun menjelang, suasana aula terasa hangat dan akrab. Sesi tanya jawab berlangsung seru. Mulai dari soal bibit, hama, hingga peluang pasar. Tawa sesekali pecah di antara penjelasan serius para narasumber.

Bagi peserta, workshop ini bukan sekadar pelatihan, tapi langkah awal untuk bergerak bersama. Dari sawit yang dulu hanya menghasilkan minyak, kini ada harapan baru yang tumbuh.(*)

Berita Lainnya

Index